Suatu pagi tampak seorang anak berjalan menyisiri pantai bersama ayahnya. Kemudian mereka duduk bersama di pinggir pantai sambil menikmati udara pantai yang segar. Ketika mereka tengah bercakap-cakap datang beberapa teman sang anak dan mengajaknya pergi bersama mereka. Namun, sang ayah meminta supaya ia tetap di sana. Akan tetapi, anak itu menolak dan berkata dengan sedikit merengek bahwa ia ingin bermain bersama dengan mereka. Sang ayah akhirnya mengijinkan ia pergi dengan berat hati dan berpesan padanya agar tidak bermain sampai ke jalan raya dan kembali sebelum matahari terbenam.
Tanpa menghiraukan ayahnya, anak itu bergegas pergi bersama teman-temannya. Ketika malam menjelang dan matahari sudah tidak tampak, sang anak kembali ke pinggir pantai dengan wajah meringis kesakitan dan luka di kakinya. Luka itu disebabkan karena terserempet kendaraan akibat ia tidak mendengarkan nasihat ayahnya dan bermain sampai ke jalan raya. Teman-temannya langsung meninggalkan dia karena takut disalahkan oleh ayahnya. Dan dengan susah payah ia berjalan sendiri untuk kembali ke rumah. Ia terduduk menangis sambil memandang ke arah lautan yang luas di hadapannya.
Ia sempat menyesali mengapa ia tidak mendengarkan perkataan ayahnya. Ia juga kecewa karena disangkanya sang ayah akan menunggu sampai ia kembali. Ia juga takut untuk kembali ke rumah dan membayangkan ayahnya akan memarahinya. Akhirnya setelah berpikir beberapa lama ia memberanikan diri untuk pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah ia tidak mendapati ayahnya. Ia mengira bahwa ayahnya memang marah dan tidak ingin menemuinya.
Ia lalu menuju kamarnya dan mengunci pintunya. Ia berpikir paling tidak ia tidak perlu melihat langsung ayahnya ketika dimarahi nanti. Keesokan harinya ketika ia terbangun masih dirasakan sakit di kakinya. Ia mencoba berjalan keluar kamar dan langkahnya terhenti ketika matanya menangkap secarik kertas terselip di bawah pintu kamarnya.
Ia membukanya dan melihat tulisan tangan ayahnya. Melalui surat itu ia mengetahui bahwa semalam ayahnya tidak pergi meninggalkan dia tetapi sang ayah mencarinya ke mana-mana karena kuatir terjadi sesuatu padanya. Dan ketika pulang ia begitu bersukacita melihat sepasang sepatu yang menandakan sang anak telah pulang, tetapi ia melihat noda darah yang mengering di alas salah satu sepatu itu, bergegas ia menuju kamar anaknya dan mendapati pintunya terkunci.
Airmata sang anak menetes ketika ia membaca kalimat terakhir surat itu :
“ . . . Ayah begitu takut jika kamu tidak kembali. Jangan pergi lagi yah nak. Ayah terus menanti di depan pintu kamarmu, bukalah jika kamu sudah tidak marah lagi, agar ayah dapat mengobati lukamu”.
Terkadang kita seperti anak itu, ketika kita menginginkan sesuatu dan Tuhan berkata dengan jelas TIDAK! Kita seolah "tuli", kompromi, dan acuh dengan semua peringatanNya. Kita tetap berjalan sesuai pemikiran dan kehendak kita sendiri, tetapi ketika apa yang kita lakukan tidak berjalan sesuai keinginan kita,korban pertama adalah Tuhan. Kita mulai menyalahkan Tuhan yang tidak memberkati sehingga kita gagal, lalu menjadi kecewa.
Atau korban kedua adalah diri sendiri. Kita terintimidasi karena menganggap diri tidak layak untuk kembali pada Tuhan. Atau korban ketiga adalah orang-orang di sekitar kita. Perasaan kita menjadi sensitif/mudah tersinggung dengan perkataan atau sikap mereka, mulai muncul pikiran negatif/asumsi-asumsi yang tidak beralasan tentang orang lain. Dan kita menjadi lelah dengan semuanya sehingga kita menutup rapat-rapat pintu hati kita dan menguncinya.
Sahabat terkasih, ketika Anda berada pada kondisi seperti ini, jangan mengunci kamar hatimu atau bahkan membuang kuncinya. Segeralah buka pintu kamar hatimu untuk Tuhan masuk. Tuhan selalu berdiri di depan pintu hatimu dan menanti Anda untuk membukakannya, agar Dia dapat memulihkan hatimu.
- Tuhan mengasihimu bahkan ketika Anda tidak merasakannya -